Kenapa Saya Harus Menulis?
Oleh Olyvia Tahta Alvina
Pada postingan saya kali ini, sayaakan
membahas tentang alasan kenapa saya harus menulis. Berawaldari keikutsertaan
saya bersama keluarga baru saya di Kelas Menulis Online (KMO) 4 yang diasuh
oleh Pak Tendi Murti akhirnya terlahirlah artikel ini sebagai hasil belajar
saya pada minggu pertama di KMO 4 ini.
Sahabat yang saya cintai karena Allah,
Saya akan paparkan tiga alasan utama kenapa
saya harus menulis:
Pertama, Menulis berarti mengikat ilmu
Ada sebuah pepatah dalam Bahasa Arab yang
berbunyi:
العلم صيد والكتابة قيده. قيد صيودك بالحبال
الواثقة
Artinya:
“ Ilmu itu bagaikan sebuah binatang buruan dan
tulisan bagaikan pengikatnya.
Maka, ikatlah buruanmu dengan pengikat yang kuat. “
Maksud dari
pepatah di atas adalah jika kita ingin mengikat binatang buruan kita tentu kita
membutuhkan tali yang kuat. Semakin besar binatang buruan yang kita inginkan,
maka tali yang dibutuhkan pun harus memadai.
Begitupun dengan
sebuah kata bernama “ILMU”. Kita memburu ilmu, lantas adakah tali untuk
mengikat ilmu tersebut agar tidak hilang begitu saja? Saya akan menjawab, ada! Ya,
TULISAN ! Mengapa harus tulisan?!! Semakin banyak ilmu yang kita peroleh, maka otak
kita semakin penuh untuk menampung semua ilmu tersebut. Otak kita ibaratkan
sebuah gelas yang terisi penuh dengan air. Apabila kita memaksa untuk mengisi
gelas tersebut dengan air lagi, maka apa yang kan terjadi? Ya, air kan tumpah keluar
dari gelas. Sama halnya dengan ilmu yang kita paksakan untuk masuk, dia akan
keluar dari otak, alias ingatan kita tentang ilmu tersebut akan hilang.
Lantas bagaimana
supaya ilmu kita tidak hilang? Ya seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya.
MENULISLAH! Dengan menulis kita memiliki bukti bahwa kita pernah memiliki ilmu
tersebut. Para sahabat di zaman Rasulullah SAW saja menuliskan hafalan Al Qur’an
mereka dengan perjuangan yang bisa dibilang sangat sulit, karena pada zaman
tersebut media tulis tidak secanggih zaman sekarang yang melimpah ruah ini. Mereka
menulis di atas batu ataupun pelepah kurma. Hal ini dilakukan supaya hafalan
mereka tidak mudah hilang. Lantas, bagaimana dengan kita yang sudah
difasilitasi dengan berbagai macam media untuk menulis?!!
Kedua, Menulis
berarti menginspirasi
Menjadi seorang penulis berarti dia menuangkan
apa yang dia pikirkan ataupun berbagi pengalaman kepada orang lain yang membaca
karyanya. Seseorang itu bisa dinilai kehebatannya melalui karya yang ia tulis. Sebuah
buku yang bisa naik cetak hingga berkali-kali itu berarti hasil karyanya telah
menginspirasi para pembaca. Ada pepatah Arab yang berbunyi:
خير الناس من أحسنهم خلقا و أنفعهم للناس
Artinya:
“ Sebaik-baik manusia adalah yang akhlaknya
baik dan bermanfaat bagi orang lain. “
Banyak
hal yang bisa kita lakukan agar bermanfaat bagi orang lain. Salah satunya
adalah melalui tulisan. Ketika kita menulis, tanamkan ke diri kita bagaimana caranya tulisan kita ini bisa
menginspirasi orang. Bagaimana caranya supaya tulisan kita ini bermanfaat bagi
orang lain. Entah itu, membuatnya bersemangat dalam menjalani hidup, atau
menambah ilmunya dan lain sebagainya.
Banyak
orang bisa berubah karena membaca sebuah karya tulis. Ada orang yang awalnya
biasa saja berubah menjadi luar biasa. Ada orang yang awalnya berakhlak buruk
tiba-tiba bertaubat setelah membaca sebuah karya tentang kematian. Atau ada
lagi orang yang menjadi semangat menikah muda (padahal sebelumnya takut tidak
bisa menafkahi anak dan istri) setelah mengetahui bahwaorang yang menikah
rizkinya telah dijamin oleh Allah SWT.
Itulah kenapa saya katakan menulis berarti menginspirasi.
Menginspirasi dalam tanda kutip menginspirasi tentang kebaikan. Maka,
berhati-hatilah dalam menulis. Karena bukan hanya satu dua orang saja yang akan
membaca tulisan kita. Apalagi zaman sekarang sudah semakin canggih. Bisa saja
seluruh dunia akan membaca tulisan kita. Penerbit-penerbit karya tulis sudah
bertebaran di mana-mana, bahkan kita bisa juga menerbitkan karya tulis sendiri.
Saking banyaknya media cetak, sulit untuk menyortir tulisan yang terbit. Sehingga,
tidak bisa kita pungkiri terdapat tulisan yang menginspirasi orang untuk
berperilaku tidak baik. Sebagai seorang penulis, tugas kita adalah menebar
kebaikan lewat tulisan kita. Ada orang yang sifatnya malu dan gugup berbicara
di depan umum, ia bisa menyampaikan ilmunya lewat tulisan. Karena ilmu yang
bermanfaat pun termasuk amal jariyah, amalan yang tidak akan terputus
pahalanya, meski pemiliknya telah meninggal.
Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis:
إذا مات ابن ادم انقطع عمله إلا ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح
يدعو له
Artinya:
“Jika seseorang anak Adam meninggal, maka terputuslah semua
amalannya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak sholeh yang mendo’akan kedua orangtuanya. “
Ketiga, Menulis
berarti mengeksiskan diri
Sebagai contoh, kita mengenal ulama-ulama
besar Islam yang telah lama wafat melalui karya tulis mereka. Dengan menyelami
karya tulisnya, seakan-akan kita hidup pada masa itu.
Coba kita pikirkan sejenak, jumlah penduduk di Indonesia ini ratusan jutaorang.
Dan itupun kita tidak bakalan mengenal semuanya. Dan saya bagaikan titik hitam
yang tergambar di peta Indonesia. TIDAK DIKENAL! Kalau bukan kita sendiri yang
mengeksiskan diri, siapa lagi? Apa ada orang mau kita suruh-suruh untuk
mengenalkan diri kita ke seantero dunia?
Menulis untuk mengeksiskan
diri tidak perlu menunggu inspirasi datang. Cukup tuangkan saja apa yang terjadi
hari ini ke dalam tulisan. Cukup bagikan saja apa yang ada di pikiran lewat
tulisan. Tidak perlu muluk-muluk dulu berangan untuk eksis di jagad raya. Meski
penduduk dunia tidak mengenal kita, setidaknya lewat tulisan, kita dikenal oleh anak-cucu kita. Terlalu
banyak kenangan dan peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Otak kita tidak
akan sanggup untuk menampung detail semua itu. Kalau ditanya,
“ Kenapa kamu tidak menulis kegiatan harianmu? “
“ Ingatanku kan kuat. Aku masih bisa mengingat semuanya. “
Kalau dipikirkan secara logis, kita tidak mungkin bisa
mengingat semua peristiwa yang terjadi di hidup kita. Anggap saja umur kita 30
tahun, itu berarti ada 360 bulan yang telah kita lalui. Ada 10800 hari kita
jalani. Belum terhitung jam, menit, detik yang kita lewati dengan berbagai
peristiwa hidup. Coba bayangkan, seandainya kita tidak menulis kehidupan harian
kita, lalu otak kita telah termakan usia yang menjadikan kita sulit untuk
mengingat. Lantas, apa yang akan kita ceritakan kepada anak-cucu-cicit kita
kelak??! Bagaimana cucu kita mengenal kakek-neneknya? Apakah lewat sebuah foto
saja itu cukup untuk mengenal? Jelas tidak! Saya sendiri sangat menyayangkan kenapa
zaman kakek-nenek saya dulu, tradisi menulis tidak nge-trend seperti sekarang. Sehingga
saya tidak mengenal kakek-nenek saya secara detail. Karena memang mereka berdua
meninggal jauh sebelum sebelum saya dilahirkan. Saran saya, Biarlah tulisan yang berbicara
dan dunia akan tahu bahwa kita pernah ada.
Semoga Bermanfaat.
Istana Cinta, Ahad 15 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar